Pengaruh keluarga yang bisa menyebabkan kenakalan remaja
1. Keluarga yang Broken Home
Masa remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebaginya. masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang anak. Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin, sehingga menjadi bagian yang vital dari kehidupannya.
Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
a. Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
b. Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.
c. Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri.
Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari keluarga yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya dapat mengambil dua sikap bicara yaitu:
1. Sikap atau cara yang bersifat preventif
Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak orang tua dapat memberikan atau mengadakan tindakan sebagai berikut :
a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.
Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
1. Sikap atau cara yang bersifat represif
Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah kesejahteraan anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut :
a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.
c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari fenomena yang terjadi di lapangan bahwa motivasi belajar siswa memberi pengaruh pada prestasi belajamya. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan keluarga yang merupakan tempat pertama dan utama anak tumbuh dan berkembang, bersosialisasi bahkan mengenal dirinya sendiri.
Fenomena di atas mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh mengenai ” Dampak Keluarga Broken Home terhadap Motivasi Belajar Siswa ”
Keluarga broken home yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketidakutuhan keluarga , baik secara stniktural maupun secara fungsional.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapat gambaran motivasi belajar siswa yang berasal dari keluarga broken home.
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas dua di SMP Negeri Baleendah 2 Kabupaten Bandung dengan sampel sebanyak 48 orang siswa. Pengambilan data dilakukan dengan studi dokumentasi terhadap buku pribadi siswa dan penyebaran angket untuk mengungkap motivasi belajar siswa.
Pengolahan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyeleksian data, penyekoran serta analisis dengan cara mengelompokkan data dan menggunakan teknik uji t perbedaan dua rata-rata yang menghasilkan kesimpulan bahwa :
1. Terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
2. Motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh
3. Keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa.
Penelitian ini menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada peneliti selanjutnya untuk meneliti variabel yang sama dengan jumlah sampel yang relatif lebih besar sehingga hasil penelitian lebih representatif.
BH”. Jika kita mendengar kata itu, pikiran kita tertuju pada pakaian dalam perempuan. Tetapi untuk “BH” yang satu ini mempunyai arti yang lain. Broken Home (BH). Yah itulah artinya.
“BH” atau dengan arti kata lain perpecahan dalam keluarga merupakan salah satu masalah yang kerap terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Apalagi di era digital yang seakan serba mudah dan bebas. Perkawinan dan perceraian sudah merupakan hal yang biasa dan sudah dianggap tidak tabu lagi. Itu sudah menjadi masalah tiap komunitas keluarga di muka bumi ini.
Di dalam konflik rumah tangga terutama konflik antara suami– istri kadang menimbulkan ha-hal yang berdampak negative. Salah satu dampak negatif dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang paling dominan adalah dampak terhadap perkembangan anak. Aktor utama “BH” (suami istri) kadang jarang memikirkan dampak apakah yang akan terjadi pada anak-anaknya apabila terjadi perpecahan atau perpisahan rumah tangga.
Di artikel sederhana ini saya ingin memberikan gambaran-gambaran singkat, padat dan mudah-mudahan jelas kepada para orang tua. Tentunya mengenai dampak apa yang akan terjadi pada anak — yang nantinya menjadi korban konflik orang tua—apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dan harus berakhir dengan “BH”.
Kejiwaan
Seorang anak korban “BH” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “BH”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.
Pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan religi yang sudah mendarah daging sejak dia lahir dan lainnya. Tekanan mental itu mempengaruhi kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal seperti itu bisa saja terjadi, apabila …?
Pelampiasan Diri
Kemungkinan terjemus dalam pengaruh negatif bagi orang tua (dewasa) dalam konteks BH ini sangat kecil. Orang tua dapat mencari solusi untuk menenangkan pikirannya. Namun berbeda dengan seorang anak yang sedang menghadapi situasi BH. Anak-anak dapat saja terjerumus dalam hal-hal negatif, apalagi dengan media informasi dan komunikasi yang menawarkan banyak hal. Contoh konkritnya, merokok, minuman keras (alkohol), obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.
Refleksi
Mungkin mudah bagi orang tua untuk memvonis keputusan tentang perpisahan atau perpecahan dalam rumah tangga, tapi apakah mudah bagi anak-anak mereka untuk dapat menerima hal itu? Entalah! Itu merupakan pertanyaan reflektif bagi orang tua!
Perpecahan dalam rumah tangga memang merupakan masalah yang tidak mudah untuk dilepaskan dari kehidupan dalam rumah tangga. Memang jika kita mengkaji lebih jauh kita akan dapat memahami sebagai suatu persoalan yang wajar-wajar saja. Tetapi, apakah hal itu dapat dikendalikanya? Memang sulit untuk menjawabnya dan jawabanya kembali kepada orang tua (ayah-ibu) atau pelaku dalam konflik rumah tangga itu sendiri.
Kita sering melihat kasus-kasus perceraian artis dan perebutan hak asuh anak sampai menyewa pengacara di layar televisi. Perceraian bagi para artis seakan meningkatkan posisi tawar (popularitas) sehingga harus menggunakan pengacara yang terkenal. Mereka tidak pernah berpikir siapa yang akan dirugikan dalam permasalahan mereka. Mereka hanya memikirkan popularitas dan diri sendiri dan menganggap semuanya dapat dibeli dengan uang. Namun, kenyataananya apa yang mereka lakukan itu merupakan kekalahan bagi anak-anak mereka dan jelas hal itu akan menjadi trauma yang berkepanjangan pada psikis anak mereka.
Orang tua harus mampu mengendalikan diri dalam menyikapi masalah ini, jangan sampai permasalahan mereka secara tidak langsung menjadi doktrin boomerang negatif yang akan berkembang dalam psikis anak. Orang tua sebagai panutan sekaligus guru yang menjadi contoh bagi anak dalam belajar untuk hidup melalui berbagai proses yang semuanya tak lepas dari tanggung jawab mereka. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila orang tua juga mampu untuk mengontrol dan mengatasi persoalan mereka sendiri tanpa harus mensosialisasikan perbedaan pendapat yang mengarah ke konflik keluarga kepada anak.
Apakah sebagai orang tua senang jika anaknya menjadi hancur dalam kehidupanya di saat mereka ingin tumbuh dan berkembang dengan cinta kasih orang tuanya? Tentu saja jawabnya pasti “tidak” dan orang tua paling tolol yang hanya diam dan tak berpendapat. Oleh sebab itu sebagai orang tua berusahalah untuk mengendalikan hidup dalam situasi apapun demi anak-anak kalian, jangan sampai BH menjadi budaya penghancur kehidupan anak yang notabene adalah buah hati kalian sendiri dan titipan TUHAN.
Download Doc
MENGATASI PROBLEM KELUARGA
Kamis, 01 Juli 2010 13:40
Upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi problem keluarga
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karuniaaNya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).
Salah satu anjuran Rasulullah untuk Menikah :
Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
Pernikahan menyatukan dua energi besar untuk sama-sama berjuang menggapai ridlo Allah SWT. Penyatuan energi sehingga membentuk suatu sinergi tentunya membutuhkan waktu untuk saling menyesuaikan diri. Dalam proses penyesuaian itulah akan banyak ditemui ketidakcocokan, pergesekan yang menimbulkan konflik dari masing –masing pasangan. Betapa tidak masing-masing memiliki latar belakang budaya, kebiasaan, karakter yang berbeda untuk diselaraskan sesuai dengan keinginan Allah SWT dalam sebuah pernikahan.
Agar konflik dan masalah dalam berrumah tangga dapat diminimalisir maka setiap pasangan harus memiliki pengetahuan yang cukup sebelum mereka memasuki jenjang pernikahan, sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga mereka sudah siap menghadapi goncangan, pergesakan dan hambatan yang ada.
Pernikahan
Pernikahan adalah konsep sakral dari sebuah kontak (ijab Qobul) secara syah yang dilakukan oleh pasangan lelaki dan perempuan sesuai tata nilai hukum yang berlaku, baik hukum positif maupun hukum religius.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Ijab qabul adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa:Sahl bin Said berkata: "Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: "Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: "Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya." Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda: "Aku kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara umum tujuan suatu penikahan menurut Islam adalah untuk mencapai ridho Allah, secara khusus yakni :
1. Mengabdi ke hadapan Allah.
2. Malaksanakan sunnah Rasulullah.
3. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
4. Membentuk suatu masyarakat islami.
5. Mendapatkan ketenangan jiwa.
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)
Percekcokan dalam Rumah Tangga
Dalam suatu interaksi dua manusia yang berlatar belakang beda baik secara kultur, karakter dan gaya hdup sudah dapat dipastikan tidak akan lepas dari suatu pergesekan nilai dan kebiasaan, sehingga menimbulkan suatu percekcokan.Hal ini sangat wajar dan manusiawi, jangankan pasangan seperti kita manusia biasa, rumah tangga Rasulullah pun tidak lepas dari percekcokan, yang membedakannya dengan kita Rasulullah memiliki akhlaq yang mulia dan dibimbing oleh Allah untuk menjadi contoh bagi ummatnya.
Banyak keluarga muslim yang hanya karena masalah kecil mengakhiri pernikahan, suatu ikatan yang telah Allah kokohkan. Masalah bisa saja hanya bermula dari salah persepsi karena komunikasi yang tidak lancar sehingga menimbulkan salah pengertian atau mungkin kebiasaan kecil suami yang tidak disukai isteri atau juga ketidaktepatan mengekspresikan emosi seperti kecewa, marah. Semuanya bisa saja terjadi hanya saja ada pasangan yang mampu mengatasi masalah kecil tersebut dengan baik ada juga yang tidak mampu menyelesaikannya sehingga masalah kecil tersebut menumpuk dan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan bahtera rumah tangga yang sedang dibangun.
Faktor-faktor penyebab terjadinya percekcokan dalam rumah tangga adalah:
1. Kurang lancarnya komunikasi
Komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam berrumah tangga, bagaimana mungkin masing-masing pasangan mengetahui keinginan dan harapan pasangannnya kalau tidak adanya komunikasi yang baik sehingga keinginan dan harapan tersampaikan dan tidak salah persepsi. Seorang suami atau isteri hendaknya menyampaikan pesan dengan lembut dan baik, tentunya dengan mempertimbangkan pula waktu dalam menyampaikan pesan tersebut.
Suami yang baru saja pulang kerja dengan badan yang lelah dan perut yang lapar tidak mungkin seorang isteri menyampaikan keluhannya sepanjang siang itu, tapi harus menunggu waktu yang tepat dimana suami dalam keadaan yang santai dan tenang
2. Kurangnya pengetahuan/ ilmu
Sebelum memasuki jenjang berrumah tangga calon suami atau isteri sebaiknya menggali dan menyempurnakan ilmu tentang pernikahan, dengan ilmu maka kita akan paham seperti apa rumah tangga yang dicontohkan Rasulullah dan bagaimana melajukan bahtera di tengah lautan kehidupan yang bergelombang.
3. Kurangnya pengendalian diri masing-masing pasangan
Sebelum menikah mungkin segalanya tampak indah di depan mata. Satu, dua, tiga bulan pertama semuanya bak di syurga dunia, tapi ketika usia pernikahan memasuki bulan keempat mulailah masalah bermunculan. Disini kita harus mampu mengendalikan diri kita. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri diuji oleh Allah. Sikap yang tepat dalam menghadapi dan mengatasi masalah adalah dengan senantiasa berlindung dan memohon pertolongan Allah untuk tetap tenang, diberi kemudahan untuk berpikir jernih dan bertindak tepat.
Banyaklah belajar dari pengalaman orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berrumah tangga, khususnya keluarga-keluarga mukmin, bagaimanakah mereka mengatasi konflik rumaha tangga, bagaimanakah mereka mengendalikan diri ketika menghadapi masalah.
4. Tidak adanya kesadaran sebagai hamba
Seorang hamba Allah sepanjang hidupnya selalu mengabdi, segala aktifitasnya harus selalu bernilai ibadah di hadapan Allah dalam QS. Adz Dzaariyaat : 55 dikatakan ” dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepadaKu”
Maka seorang hamba Allah akan meninggalkan semua sikap dan perilakunya yang tidak bernilai ibadah. Semua yang dilakukannya harus untuk dan atas nama Allah, dengan bertitik tolak pada ”Sukakah Allah dengan apa yang akan kulakukan?”
Benarkah Budaya Jawa ”Nrimo” Sesuai Syariat Islam?
Perempuan adalah mahluk yang sangat istimewa dengan kehalusan budi pekerti, kelembutan cinta, wajah nan anggun berwibawa, suara yang lirih, langkah yang gemulai dan sikap yang taat, patuh, hormat pada orang tua serta berbakti pada suami, merupakan gambaran perempuan di mata bangsa Jawa dan beberapa bagian di Indonesia. Tabu jika ada seorang perempuan yang lantang, memberontak terhadap suatu keputusan orang tua atau suaminya, melanggar adat katanya. Bahkan ketika seorang suami menyakitinya, menjadikannya isteri simpanan pun tabu baginya untuk menolak apa lagi melawan.
Nilai-nilai tersebut semakin menguat dengan datangnya Islam ke Pulau Jawa, walau salah kaprah dalam memahaminya budaya ’nrimo’ sudah menjadi bagian dari kehidupan beragama di Jawa. Suami adalah pimpinan rumah tangga sehingga apa yang dikatakannya mutlak harus ditaati ’pamali’ jika membantah atau menolak.
Sebenarnya perintah taat dalam Islam tidak demikian, selalu diikuti kata ”selama pimpinan (baik kepala rumah tangga, pemimpin masyarakat dan pimpinan negara) tersebut tunduk dan taat kepada Allah dan RasulNya.
Ketaatan kepada ulil amri merupakan ketaatan bersyarat yakni taat manakala ulil amri tersebut berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, apalagi ketaatan terhadap seorang suami. Taat dan patuh kepada suami adalah semata-mata hanya karena Allah telah memerintahkannya, sehingga semua yang dilakukan suami atau isteri akan bernilai ibadah manakala ia melakukannya atas nama Allah SWT, mencintai suami atau isteri merupakan bentuk kecintaan terhadap Allah SWT.
Manakala seorang pimpinan berbuat menyimpang dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah maka ketaatan tersebut menjadi batal adanya. Dalam berrumah tangga jika suami berbuat salah maka isteri wajib mengingatkannya, mengajaknya kembali ke jalan yang benar, tetapi jika berbagai cara telah dilakukan untuk mengingatkan suami maka suami tersebut tidak wajib untuk ditaati, sehingga ’nrimo’ nya Jawa tidak berlaku. Dalam hal ini manakala suami menyimpang dari ketentuan Allah SWT maka isteri tampil bak seorang ’Srikandi’ di medan perang gigih berjuang melemahkan nafsu syetan yang ada dalam diri suami.
Seperti telah disebutkan di atas QS At Taubah : 71 "Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)
Suami isteri harus merupakan penolong menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah pada hal yang munkar, sehingga ketika percekcokan suami isteri karena salah satunya menyimpang dari ketentuan Allah, maka pasangannya mengingatkan dan meluruskannya, sehingga percekcokan tersebut akan bernilai ibadah. Percekcokan inilah yang dibenarkan oleh Allah SWT dan bahkan dianjurkan, seperti dalam hadits Bukhori Muslim
”Jika melihat kemunkaran cegahlah dengan tanganmu, jika tidak mampu cegah dengan lisanmu dan jika tidak mampu cukuplah dengan hati maka itulah selemah-lemahnya iman”
Suami dan Isteri Sebagai Partner
Era globalisasi informasi telah mengubah pandangan tentang wanita dan isteri, posisi wanita bukan berada di bawah telunjuk pria atau kaum suami tetapi memiliki kedudukan yang sama bahkan lebih tinggi. Fenomena pandangan tentang wanita ’mampu mengerjakan semua pekerjaan seperti halnya pria’ telah menyeret wanita meniggalkan fitrahnya,banyak ditemukan keputusan dan pengelolaan rumah tangga mutlak di tangan isteri, sehingga suami kehilangan wibawa dan pengaruhnya dalam memimpin rumah tangga.
Islam dien yang menjunjung tinggi wanita, dalam Islam wanita adalah partner dalam menjalani biduk rumah tangga. Wanita dan pria sama-sama sebagai subyek bukan obyek. Namun tetap pria dengan berbagai kelebihan yang Allah berikan ia sebagai pemimpin dalam berrumah tangga. Isteri dalam hal ini sebagai partner, sebagai wakil di rumah tangga.
Jika fitrah yang Allah tetapkan ini dilanggar maka lihatlah kesudahan orang-orang yang tidak mentaati ketetapan Allah SWT, malapetaka dan kehancuran yang akan didapat., serta jauh dari rahmat dan kasih sayang Allah SWT.
Menjalankan peran sebagai subyek dalam rumah tangga, berarti isteri memiliki kewajiban untuk menolong, meluruskan suami ketika suami berbuat menyalahi aturan Allah SWT, sudah barang tentu sebaliknya jika isteri menyimpang dari jalan Allah SWT maka suami berkewajiban mendidik dan mengarahkannya ke jalan yang benar.
Jika dalam menjalankan perannya baik suami atau isteri tidak mau mendengarkan tausyiah kita maka percekcokan akan terjadi, namun percekcokan ini akan menjadi ibadah di hadapan Allah, sehingga tidak perlu khawatir selama kita benar sesuai dengan ketetapan Allah janganlah takut atau merasa bersalah pada saat kita harus adu mulut atau mungkin adu otot dengan pasangan kita.
Dari uraian di atas maka sebaiknya calon isteri atau suami sebelum memasuki jenjang pernikahan, sempurnakanlah ilmu dan pengetahuan tentang berrumah tangga sesuai tuntunan Rasulullah SAW .Melalui tahapan seperti di bawah ini :
1. Ta’aruf
” Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS.Al Hujurat : 13)
Ta’aruf tidak identik dengan pacaran, ta’aruf artinya saling mengenali diri masing- masing. Proses ta’aruf sebelum menikah hanya dibolehkan jika sesuai syariat yang telah Allah tetapkan, bukan liar dan tidak terkontrol. Ta’aruf yang dibenarkan memiliki rambu-rambu sebagai berikut :
- bertujuan mengenali pasangan untuk menuju jenjang pernikahan (bukan untuk eksploitasi hawa nafsu)
- tidak berduaan, harus ada muhrim dari pihak calon mempelai perempuan
- pembicaraan tidak mengarah pada hal-hal yang menimbulkan birahi
- saling menyesuaikan diri satu sama lain
Dalam ta’aruf ini hendaknya masing-masing pasangan saling bertanya mengenai :
- Apa yang menjadi tujuan dan hidup pasangannya?
- Apa saja yang disukai?
- Apa yang dibenci?
- Apa saja yang membuatnya kecewa?
- Apa saja yang membuatnya marah ?
- Apa cita-citanya?
- Apa tujuan menikah?
- Bagaimana cara mengatasi masalah selama ini?
- Dan lain sebagainya.
Sehingga jika masing-masing pasangan mengenai kebiasaan dan sifat calon istri atau suaminya, ia memiliki bahan untuk saling menyesuaikan diri.
2. Tafahum
Tafahum adalah saling memahami, setelah masing-masing pasangan saling mengenal maka tahapan selanjutnya adalah saling paham, mengerti dan menyesuaikan diri kebiasaan masing-masing, sehingga semua masalah dihadapi dengan tenang karena masing-masing mengetahui cara pandangnya.
3. Ta’awun
"Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka mereka ( adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS At-Taubah: 71)
Ta’awun berarti saling menolong, seperti ayat di atas bahwa suami/isteri adalah penolong bagi pasangannya, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan dengan penuh kasih sayang.
4. Takaful
Takaful artinya penyeimbang, pasangan suami isteri harus menjadi peny
USAHA PENGOLAHAN SAMPAH DI LINGKUNGAN MASYARAKAT DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEREKONOMIAN,,,,,,,
Dewasa ini, kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan semakin menurun. Kita lihat saja dari hal yang paling dekat dengan kita dahulu, yaitu sampah. Tanpa kita sadari, berapa banyak sampah yang kita buang tiap harinya di lingkungan sekitar kita? Namun, yang lebih patut kita pertanyakan yaitu, “apa sampah-sampah itu telah diurus?”. Diurus dalam kalimat ini memiliki arti yaitu bukan berarti dihias dan diberi pewangi agar bau tidak enaknya hilang. Namun, dapat diartikan seperti dibakar atau diolah khususnya sampah-sampah yang dapat didaur ulang. Sampah-sampah yang tidak diurus ini sering terlihat di tempat-tempat umum.
Lama-kelamaan, jika sampah-sampah ini tidak digubris atau diurus oleh masyarakat, akan menimbulkan dampak yang dapat merugikan banyak orang. Dampak yang sering menyerang kita antara lain timbulnya beberapa penyakit dan juga dapat menyebabkan bencana banjir. Saat dampak ini terjadi, masyarakat biasanya malah menyalahkan pemerintah. Mereka berkata bahwa pemerintah tidak bertanggung jawablah! Kurang memperhatikan lingkunganlah! Coba kita pikir! “Apa hanya pemerintah yang menyebabkan timbulnya bibit-bibit penyakit ini?” “Apa hanya pemerintah yang menyebabkan bencana banjir ini?” TENTUNYA TIDAK! Sebagai warga negara yang baik, kita tidak boleh hanya menyalahkan pemerintah. Apa kita pikir, hanya pemerintah yang bersalah. Coba kita putar otak kita untuk kembali ke masa lampau. Jika kita ingat, kita juga kan yang membuang sampah sembarangan dan pada akhirnya sampah-samah itu menggunung dan menyebabkan saluran air tersumbat sehingga timbullah banjir, dan muncul berbagai penyakit. Saat kita melakukan pembuangan sampah sembarangan ini, mungkin kita berpikir “ah, cuma segini doank kok yang aku buang di sini!” Walau hanya sedikit, namun apabila dilakukan berkali-kali juga nantinya akan menjadi banyak. Hal ini cocok dengan pepatah “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit” sudah dikatakan di awal paragraf, bahwa sampah-sampah ini jika tidak diurus juga dapat membahayakan. Sebagai contoh, anak jika tidak diurus oleh orang tuanya, akankah menjadi anak yang baik? Nah, demikian pula dengan sampah. Walau pun jika dilihat hanya sepele. Namun, jika kita berpikir ke atas, bagaimana dampak bagi anak cucu kita? Menyalahkan orang lain menurut saya bukan cara yang tepat untuk mengatasi dampak dari sampah-sampah ini. Kalau menurut saya, masyarakatlah yang tidak tertib. Bukankah ditempat-tempat umum ini, pemerintah telah menyediakan tempat sampah. Masyarakat tidak perlu membawa tempat sampah dari rumah jika ingin bepergian. Semuanya telah disediakan gratis oleh pemerintah. Tinggal bagaimana pemanfaatan masyarakat terhadap fasilitas tempat sampah itu.
Nah, disini akan kita bahas bagaimana cara mengatasi penumpukan sampah yang telah merajalela di lingungan sekitar kita. Ilmu pengetahuan dan juga IPTEK dapat kita manfaatkan dalam mengatasi problem tersebut.
Misalnya, dalam mengolah sampah-sampah itu, dapat kita lakukan dengan interaksi sosial seperti kerja sama antar warga, sehingga akan muncul ide-ide dari beberapa orang, yang nantinya akan dikombinasikan, sehingga akan menghasilkan produk yang lebih berkualitas, dan membuat kinerja masyarakat lebih efisien, juga interaksi sosial antara masyarakat menjadi lebih erat. Dalam mengatasi hal ini, juga dapat kita pergunakan cara sesuai kemampuan dan bidang kita masing-masing. Tentunya saja kita diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali kemampuan yang berbeda-beda dan tentunya sudah sesuai dengan diri kita masing-masing. Tinggal bagaimana seorang manusia mengembangkan kemampuan ataupun bakat-bakatnya tersebut.
Sebagai contoh, petani dapat mengolah sampah-sampah tersebut menjadi pupuk, dan pengrajin dapat mengolah sampah-sampah tersebut menjadi cinderamata, dll. Bila para petani mengolah sampah dengan cara-cara para pengrajin, otomatis petani-tersebut harus membeli peralatan yang sama dengan para pengrajin untuk mengolah sampah-sampah tersebut, yang malah akan mengeluarkan banyak tambahan biaya. Padahal, para petani tersebut dapat mengolah sampah-sampah tersebut dengan alat-alatnya sendiri, kemampuannya sendiri, tanpa harus ikut-ikutan cara orang lain. Kesimpulannya, dalam mengolah harus disesuaikan dengan kemampuan sendiri, yang tepat bukan meniru orang lain. Tetapi menjadikan orang lain itu sebagai prinsip dan tauladan dalam kita mengerjakan sesuatu. Sehingga kita tidak harus keluar banyak uang jika kita tidak meniru hal yang kurang bermanfaat. Jika kita hanya meniru dan terus meniru, padahal kita mampu mengerjakan sesuatu dengan kemampuan kita sendiri, itu menyebabkan pemborosan dan mungkin akan mengakibatkan kerugian. Banyak dampak negatif yang akan kita dapatkan. Misalnya, kita dianggap tidak kreatif oleh orang lain, dan daya kekreatifan kita tidak akan berkembang. Namun, jika memang mempunyai modal yang cukup, dan tidak takut rugi, mungkin terserah anda mau menggunakan cara yang seperti apa . Sedikit demi sedikit, dengan terus sering membiasakan diri, kita akan dapat melakukan hal tersebut dengan baik tentunya. Dengan niat dan usaha, dan tak lupa disertai dengan doa.
Secara logika, jika kita dapat menerapkan hal tersebut dengan semaksimal mungkin, uang yang seharusnya kita pergunakan untuk membeli peralatan ataupun barang lain yang tidak penting dapat kita tabung untuk biaya hidup lainnya.
Waktu ini terus berjalan. Tidak dapat kembali ke masa lampau, ataupun dengan cepatnya menuju masa yang akan datang. Semua butuh proses. Apa kalian pernah mengalami hal yang tidak butuh proses? Jika iya, tentunya itu adalah hal yang tidak terlalu serius. Sebagai contoh, bayi tumbuh menjadi remaja membutuhkan proses, anak menjadi pintar membutuhkan proses yaitu belajar.
Demikian pula dengan pengolahan sampah tersebut. Jangan takut akan KEGAGALAN! Kegagalan memang selalu datang di belakang. Dengan adanya kegagalan, seharusnya kita menjadi lebih semangat, dan bisa memperoleh berbagai pelajaran maupun hikmah, agar kita tidak mengulangi hal-hal yang buruk tersebut di lain waktu. Namun, sekarang sering terjadi hal-hal yang menyebabkan terjadinya korban , baik korban fisik maupun korban spisik hanya karena mengalami kegagalan. Saat mengalami kegagalan, banyak dari masyarakat yang menjadi frustasi, menjadi tidak semangat untuk menjalani hidup, dan bahkan ada yang sampai bunuh diri. Hal itu salah! Seharusnya, jika mengalami kegagalan, kita harus mencari jalan keluar dari kegagalan tersebut. Jika hanya terus menangis dan bersedih, apa kegagalan yang sudah kita alami tersebut dapat kembali menjadi sebuah keberhasilan? Tentunya TIDAK! Namun, dapat kita atasi dengan menambah semangat dan terus berusaha agar kegagalan itu tidak sering menimpa kita.
12 komentar:
akehi maning makalhe mas
keluarga segalanya bagiku..........
oyea.........
keluarga segalanya bagiku
oyea...........
okeeeeeeeeeeeeee
okeeeeeeeeeeee
okeeeeeeeeeeeeee
okjeeeeeeeeeeeeeeee
okeeeeeeeeeeee
haahahhahaa....apik wis apik...
hahahhaa..apik wis apik mas...
artikele apik mas . .
apik jg artikele
Posting Komentar